Sabtu, 31 Juli 2010

Proses pengawetan ikan dengan garam

Proses Penurunan Mutu

Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang sangat cepat mengalami pembusukan ( perishable food ). Hal ini terjadi karena senyawa penyusun tubuh ikan mudah sekali mengalami penguraian oleh mikroba yang secara alami terdapat pada tubuh ikan ( Brown, 1986 ). Menurut Junizal (1976 ), tiga proses utama segera terjadi setelah ikan mati yaitu pertama proses autolisis dan ensimatis selama ikan mengalami prerigor dan rigor mortis, kemudian dilanjutkan oleh serangan bakteri pembusuk dan terakhir terjadinya oksidasi reduksi asam lemak yang menyebabkan bau tengik (rancid ) pada tubuh ikan.

Menurut Novikov ( 1983 ) selama berlangsungnya proses autolisis tidak menimbulkan penurunan kesegaran dan pembusukan tetapi hanya menghasilkan senyawa-senyawa yang menyokong untuk pertumbuhan mikroba dan proses ini menandakan bahwa ikan masih segar.

Setelah berakhirnya proses rigor mortis dan autolisis maka mulailah serangan bakteri yang berperan dalam pembusukan ikan (Ilyas, 1983 ).

Menurut Jay ( 1986 ), daging ikan segar yang baru ditangkap secara bakteriologis adalah seteril. Penurunan kesegaran ini pertama-tama disebabkan oleh kerja bakteri yang menguraikan protein, terekstrak membentuk senyawa-senyawa seperti trimetilamin ester, asam laktat, trimetil sulfide dan alkohol. Bakteri yang terdapat pada daging ikan ini berasal dari tiga tempat yaitu lendir pada kulit 102 - 107 per cm2 kulit, pada insang sebanyak 103 - 108 per gram insang dan isi perut 103 - 106 per ml isi perut yang masuk melalui pori-pori kulit dan darah. Pada proses pembusukan bakteri yang berperan adalah spesies Pseudomonas. Selanjutnya Hobbs dan Hodgkiss ( 1982 ), bakteri yang dominan terdapat dalam tubuh ikan yang baru di tangkap terdiri dari golongan gram negatif yaitu : spesies Pseudomonas, Alteromonas, Vibrio, Flavobakterium dan Cytophage serta dari golongan gram positif yaitu : Moraxella dan genus Micrococcus.

Pengawetan ikan dengan Garam ( NaCl )

Penggunaan garam sebagai bahan pengawet khususnya untuk produksi perikanan tampaknya masih diandalkan oleh Negara-negara berkembang dan peranannya masih tetap penting dalam pengolahan tradisional. Keampuhan daya pengawet dari garam yang murah, aman bagi kesehatan dan tersedianya dimana-mana barangkali merupakan faktor-faktor penting yang menentukan pilihan terhadap pemakaian garam ( Poernomo et al. , 1988 ).

Menurut Poernomo et al. ( 1988) menyatakan bahwa garam bersifat hygroskopis dapat menarik air dari daging ikan sehingga kadar airnya berkurang.

Selanjutnya Winarno dan Betty ( 1992 ) menyatakan mekanisme pengawetan dengan pemberian garan adalah garam mempunyai tekanan osmotik tinggi, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya plasmolisis dari sel mikroba dan garam bersifat hygroskopis, dimana dapat menyerap air dari bahan dan lingkungan, sehingga aktivitas air bahan makanan akan rendah dan pertumbuhan mikroba dapat dihambat. Pertama-tama garam akan berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu, mikroorganisme proteolitik adalah yang paling mudah terpengaruh walaupun dengan kadar garam 6%, selain itu garam juga mempengaruhi aktivitas air dari bahan.

Saripah dan Setiasih ( 1980 ) menyatakan meskipun garam tidak dapat membunuh semua jenis mikroba, tetapi pada umumnya kebanyakan mikroba yang menyebabkan pembusukan dapat dihambat pertumbuhannya. Pada konsentrasi garam antara 10 sampai 15 persen sudah cukup untuk membunuh sebagian besar jenis bakteri kecuali jenis-jenis bakteri halofilik yaitu jenis bakteri yang tahan terhadap konsentrasi yang tinggi, bahkan ada yang tahan sampai konsentrasi garam 26,6 persen.

Di samping garam sebagai bahan pengawet, garam pada konsentrasi rendah dapat memberikan sumbangan citarasa. Pada konsentrasi garam 2 - 4 persen di dalam produk hanya sedikit pengaruhnya terhadap pengawetan tetapi berfungsi sebagai pembei citarasa dan memperbaiki kenampakan ( Cutting, 1965 ).

Menurut Suparno et al ( 1980 ), garam merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi daya awet pindang. Penggunaan garam sebagai bahan pengawet, khususnya untuk produk perikanan, peranannya masih tetap menduduki yang terpenting dalam pengolahan. Hal ini disebabkan karena garam merupakan zat pengawet alami yang harganya relatif murah, aman bagi kesehatan dan gampang diperoleh.

Garam sebagai bahan pengawet, kemurnian garam sangat mempengaruhi mutu dari ikan yang dihasilkan. Adanya garam magnesium ( Mg ) dan Calsium ( Ca) 1% saja dapat mempengaruhi terhadap warna ikan pindang yang dihasilkan, selain itu rasa dari ikan menjadi pahit dan tekstur ikan menjadi keras dan rapuh ( Moeljanto, 1992 ). Selanjutnya wanuri ( 1978 ), menyatakan garam sebagai bahan pengawet akan banyak pengaruhnya terhadap mutu pindang ikan tongkol yang dapat ditandai oleh bau, rasa dan warna dari pindang yang dihasilkan. Garam yang kurang murni lambat sekali meresap ke dalam ikan. Demikian juga ikan pindang akan mempunyai bau yang kurang memuaskan, rasa yang pahit, warna yang kurang menarik dan tidak tahan lama. Sedangkan pemakaian garam mudah meresap ke dalam daging ikan tongkol akan mempunyai bau yang sedap rasa yang gurih dan akan tahan lama.

Menurut Anon ( 1978 ), penggunaan garam sebesar 15% dari berat ikan sudah cukup efektif untuk emgawetkan ikan pindang, sedangkan menurut Nitibaskara (1980) bahwa dalam pemindangan kadar garam yang optimal adalah 15% dan pindang yang paling disukai adalah dengan kadar garam 10%
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar